Senin, 10 Februari 2014

DILEMATIKA GURU TERHADAP IT



Rio Dwi Seprianto


Sejak dikenalkannya peralatan teknologi di dunia pendidikan (e-learning) berdampak signifikan khususnya bagi guru yang masih gaptek atau sama sekali masih belum mengenal system komputerisasi. Mengajar dikelas dengan penyampaian materi yang dikolaborasikan dengan perangkat teknologi berbasis IT; computer, infokus, LCD, Audio Visual Aids (Alat bantu pembelajaran) tentunya merupakan beban berat yang harus di emban guru yang tidak kompeten menggunakan perangkat tersebut. Persoalan ini menjadi dilematik khusunya bagi guru yang tidak pernah mencicipi pendidikan teknologi computer di masa pendidikannya. Mengutip kalimat yang di ambil dari situs http/www.teknologipendidikan.com mengatakan bahwa“ teknologi berkembang akhir tahun 80an (di luar negeri) dan awal tahun 2000 (di sini), audio visual aids dan teknologi pendidikan (TP) sudah mulai dikenal sampai ada orang yang mengatakan bahwa teknologi dapat mengajar lebih efektif dari manusia.

Pernyataan tersebut menyimpulkan Jika teknologi di Indonesia berkembang di tahun 2000 maka menimbulkan efek yang tidak singkron dengan kapasitas pendidikan dan potensi guru saat ini. Jika  dihitung secara berkala, guru yang usianya lebih 40 tahun, sudah pasti tidak mengenal computer ketika masih study di universitasnya. Logikanya, mereka merupakan angkatan mahasiswa rentang tahun 70 sampai 80an dan pada masa itu komputerisasi belum merambah ke dunia pendidikan kita.

Pemaksaan pemerintah dinas pendidikan Indonesia pada kurikulum KTSP 2006 yang memprogramkan munculnya sekolah-sekolah dan kelas-kelas unggulan seperti; SSN, RSBI dan SBI yang berdampak aksi protes dari masyarakat luas karena mahalnya biaya pendidikan. Secara kontinyu kurikulum 2013 menata ulang program KTSP2006 tersebut dengan tidak meninggalkan teknologi yang disepakati untuk di terapkan di ruang belajar yang diintegrasikan ke semua bidang study.           

Peristiwa di atas menjadi cikal bakal lumpuhnya strategi belajar bagi guru yang kurang menguasai teknologi sebagai media tambahan untuk proses transfer materi kepada siswa. Program pelatihan TIK untuk guru yang diselenggarakan pemerintah tahun 2009 sampai dengan 2011 menghasilkan ketidak merataan kemampuan guru dalam mengoperasikan computer. Benar kata pepatah ”belajar di waktu muda bagai mengukir di atas batu, belajar di waktu tua bagai mengukir di atas air”.

Fenomena inilah yang menjadi subject matter guru-guru yang tidak mampu menggunakan IT sebagai media dan alat bantu pembelajaran di kelas. Ada benarnya, media pembelajaran yang menggunakan software Ms. Powerpoint sebagai pengganti papan tulis untuk presentasi di kelas yang mengandalkan laptop dan infocus sangat efektif dan komunikatif karena lebih menjamin pemahaman siswa dan memberikan daya tarik siswa untuk belajar. Hal ini disebabkan karena terjadinya proses kompleksitas indra (melihat dan mendengar).

Implikasinya, ketika guru tidak mampu menggunakan IT untuk proses pembelajaran. Berbagai strategi kreatif banyak menawarkan teknik ampuh yang bisa digunakan tanpa mengandalkan komputerisasi. Computer buatan manusia, dan otaknya adalah manusia. Computer memiliki memori terbatas, dan sampai sekarang otak guru adalah teknologi yang jauh lebih ampuh dalam mengajar yang efektif dan bermutu. Tugas guru adalah mengajar dan mendidik siswa sesuai kemampuan dan kreatifitas individunya, inovatif dalam menghadapi tantangan baru. Tidak ada pengganti manusia (guru) dengan appropriate tectology (menggunakan teknologi dalam pendidikan).            

Minggu, 02 Februari 2014

KAJIAN PENJURIAN PEKAN BUDAYA KAMPAR



oleh: Rio dwi S
Pengamat Seni
Perayaan dan perhelatan akbar pekan budaya Kampar yang diselenggarakan disetiap tahunnya tidak lepas dari fenomena problematika penjurian yang keliru. Sistematika pola penjurian yang keliru dan bersifat monoton tersebut memungkinkan lemahnya nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat karena tereksploitasi oleh idealisme minoritas individu yang berkedok sebagai juri.
Tradisi merupakan kekayaan adiluhung yang berakar dari nilai-nilai fanatisme kebudayaan nenek moyang masyarakat tempatan. Seperti musik tradisional, pakaian adat, rumah adat, masakan tradisional, tatacara dan etika dalam menata cara kehidupan sehari-hari yang menjadi tradisi dan adat-istiadat bermasyarakat. Ketika nilai-nilai tradisi tersebut direndahkan dan dilecehkan besar kemungkinan akan berakibat fatal terhadap sentimental (nilai rasa) masyarakat penganut nilai-nilai tradisi tersebut, perasaan dan hati akan terganggu karena merasa nilai-nilai tradisinya diremehkan oleh beberapa individu atau sekelompok masyarakat lainnya.
Peristiwa mutakhir adalah perlombaan pekan budaya kampar yang erat kaitannya dengan nilai-nilai tradisi masyarakat Kampar tepatnya tanggal 16/19 Desember 2013. Secara defacto Lomba adalah ajang kompetisi yang bertujuan untuk mencari terbaik dari beberapa peserta yang baik.
Secara harfiah musik tradisional merupakan jenis aliran musik yang memiliki cirikhas dari tiap-tiap daerah yang bersifat turun-temurun dan dicintai oleh masyarakatnya. Pola pikir ini tentunya akan berdampak signifikan ketika satu dari beberapa musik tradisional yang dimenangkan dewan juri mendapat juara dan penghargaan  karena dianggap lebih bagus dan memiliki nilai-nilai eksotis dari tradisi masyarakt pesaingnya.         
Pertanyaannya apakah sistematika penjurian yang digunakan sudah benar berdasarkan kaidah dan prinsip penilaian yang sesuai dengan tema yang dilombakan ?

Jumat, 24 Januari 2014

Deskriminasi Pendidikan ICT



oleh : Rio Dwi Seprianto
(Pengamat Pendidikan)



Dunia pendidikan kita dasawarsa ini sudah merambah jauh menuju pendidikan modern. Pendidikan berupa informasi pengetahuan atau ilmu sudah mudah didapat dan diterima dengan cepat di era teknologi digital dan telekomunikasi saat ini (siberspace). Persoalan ini tentunya tidak lepas dari peran ICT sebagai mediasi masyarakat untuk menjembatani guna mengkonsumsi informasi dan komunikasi tersebut. Dengan talenta yang dimiliki masyarakat di bidang ICT tentunya memudahkan mereka dalam mengakses pengetahuan dengan cara search engin atau browsing untuk mendapatkan informasi yang mereka inginkan.  Kemampuan atau talenta tersebut tentunya diperoleh tidak semudah membalikkan telapak tangan perlu adanya pendidikan dan pelatihan khusus di sekolah agar siswa sebagai regernerasi masyarakat ke depan mampu mengoperasikan teknologi berupa computer atau laptop dengan system yang baik dan benar. Fenomena pendidikan ICT ini sudah diterapkan di sekolah oleh pemerintah dinas pendidikan dalam kurikulum KTSP2006 yang notabene sudah tidak berlaku lagi karena dampak kurikulum 2013.
Kehadiran kurikulum 2013 di tengeh-tengah konstelasi social politik dan pendidikan saat ini tentunya  mengalami pro- kontra dalam pemikiran masyarakat intelektual yang peka terhadap kritikan dan doktrin. Alasan fundamental pemerintah menyelenggarakan kurikulum 2013 disebabkan beberapa persoalan dianataranya; karena di era modern atau digitalisasi saat ini anak usia 6 tahun saja “sudah mampu menggunakan komputer atau laptop” sehingga pendidikan ICT sudah tidak perlu lagi diajarkan di kelas karena akan diintegrasikan dengan mata pelajaran lainnya. Guru mengajarkan materi di kelas dengan menggunakan fasilitas infokus sehingga secara tidak langsung siswa bisa mengamati guru dalam mengoperasikan ICT, guru bahasa Indonesia atau sejarah menyuruh siswa membuat makalah dan puisi dengan komputer, lebih istimewanya lagi seluruh guru sudah dilatih dan dikursuskan pemerintah supaya mampu dalam penggunaan ICT, persoalan inilah yang mengakibatkan guru ICT sudah tidak diperlukan lagi, sehingga benar kata pepatah “habis manis sepah dibuang”.
Pertanyaannya; pintar TIK itu standarnya apa?..., sudah mampukah siswa mengoperasikan komputer dengan baik dan benar, seperti mengedit makalah pada program MS Word, mengatur manajemen keuangan pada program Ms. Exel, mengedit video dan image, save file,  membuat presentasi dengan Ms. Powerpoint atau flash Mx, internetan, browsing, surfing, upload dan download, memiliki email dan cating pada jejaring social seperti facebook, twiter, bloger dll. Apakah guru yang mengajarnya sudah bisa semua?..., Kalau hanya untuk bermain game atau mendegarkan musik, jawabnya percuma!!.
Studi khasus yang dilihat setelah pelatihan TIK para guru, hasilnya nonsen. Guru hanya bisa mengetik dan menyusun presentasi sederhana dengan Ms. powerpoint, itupun tidak merata semua guru yang bisa membuat, hanya beberapa persen orang saja dan bisa dihitung dengan jari, artinya pemerintah telah gagal melatih guru dan hanya menghabiskan APBN dengan status pemubaziran.    
Ketika labor TIK tidak berfungsi optimal, siswa disuruh membawa laptop ke sekolah untuk browsing mencari tugas, bagaimana dengan siswa yang tidak punya laptop? Apakah mereka dipaksa harus punya laptop? dan membebani orang tua yang terpakasa membeli, pemikiran tersebut mengklaim pemaksaan ekonomi seolah penghasilan manusia merata. Hal ini mengingatkan kita pada era orde lama dengan bentuk rezim kapitalis; dalam persoalan ini berbentuk “kapitalisme pendidikan” artinya yang kaya makin pintar yang miskin makin bodoh, siswa yang tidak memiliki laptop meratap dalam pikiran dan hati sehingga tidak jarang mereka akan bercita-cita “kapan saya bisa punya laptop ?”, maka bukan tidak mungkin akan berdampak terjadinya kejahatan moral dan etika anak di sekolah seperti pencurian, iri hati, dengki, apatis, pesimistis, anarkis terhadap siswa yang punya laptop.
Ada benarnya di zaman sekarang apalagi di kota-kota besar masyarakat sudah mampu membeli laptop untuk anaknya sehingga mereka bisa menggunakan TIK, bagaimana dengan anak yang tinggal di desa?
Lain lagi dengan statement yang menyatakan bahwa anak-anak sudah bisa menggunakan TIK, tanpa harus diajarkan. Kalau parameternya sudah bisa, semua pelajaran bisa dipelajari sendiri dizaman serba digital ini. Jika logikanya dibalik, pelajaran bahasa Indonesia tidak perlu lagi diajarkan karena anak yang usia 2 (dua) tahun saja sudah bisa berbahasa Indonesia, begitupun pelajaran Sejarah semua orang tidak perlu lagi belajar sejarah karena cukup membaca saja di rumah. Matematika tamat SD saja siswa sudah bisa berhitung; menambah, membagi, mengurang, mengali. Intinya kurikulum 2013 belum siap 100% dalam implementasinya.
Menyikapi persoalan di atas terdapat beberapa pertanyaan signifikan yang harus dijawab pemerintah demi kemajuan bangsa Indonesia di era globalisasi yang kian panas dan menantang bagi masa depan siswa-siswi Indonesia sebagai pilar sekaligus pionir dalam mempertahankan harkat dan martabat Negara yang penuh persaingan di tingkat internasional Negara-negara di dunia. Jika di biarkan generasi muda kita lemah dengan kemampuan teknologi ICT bukan tidak mungkin bangsa ini mengalami kasus serupa “penyadapan presiden Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah Australia ditahun 2009 hingga tahun 2013 lalu” apakah kita bangsa seperti keledai yang mau jatuh kelobang yang sama?.