Jumat, 24 Januari 2014

Deskriminasi Pendidikan ICT



oleh : Rio Dwi Seprianto
(Pengamat Pendidikan)



Dunia pendidikan kita dasawarsa ini sudah merambah jauh menuju pendidikan modern. Pendidikan berupa informasi pengetahuan atau ilmu sudah mudah didapat dan diterima dengan cepat di era teknologi digital dan telekomunikasi saat ini (siberspace). Persoalan ini tentunya tidak lepas dari peran ICT sebagai mediasi masyarakat untuk menjembatani guna mengkonsumsi informasi dan komunikasi tersebut. Dengan talenta yang dimiliki masyarakat di bidang ICT tentunya memudahkan mereka dalam mengakses pengetahuan dengan cara search engin atau browsing untuk mendapatkan informasi yang mereka inginkan.  Kemampuan atau talenta tersebut tentunya diperoleh tidak semudah membalikkan telapak tangan perlu adanya pendidikan dan pelatihan khusus di sekolah agar siswa sebagai regernerasi masyarakat ke depan mampu mengoperasikan teknologi berupa computer atau laptop dengan system yang baik dan benar. Fenomena pendidikan ICT ini sudah diterapkan di sekolah oleh pemerintah dinas pendidikan dalam kurikulum KTSP2006 yang notabene sudah tidak berlaku lagi karena dampak kurikulum 2013.
Kehadiran kurikulum 2013 di tengeh-tengah konstelasi social politik dan pendidikan saat ini tentunya  mengalami pro- kontra dalam pemikiran masyarakat intelektual yang peka terhadap kritikan dan doktrin. Alasan fundamental pemerintah menyelenggarakan kurikulum 2013 disebabkan beberapa persoalan dianataranya; karena di era modern atau digitalisasi saat ini anak usia 6 tahun saja “sudah mampu menggunakan komputer atau laptop” sehingga pendidikan ICT sudah tidak perlu lagi diajarkan di kelas karena akan diintegrasikan dengan mata pelajaran lainnya. Guru mengajarkan materi di kelas dengan menggunakan fasilitas infokus sehingga secara tidak langsung siswa bisa mengamati guru dalam mengoperasikan ICT, guru bahasa Indonesia atau sejarah menyuruh siswa membuat makalah dan puisi dengan komputer, lebih istimewanya lagi seluruh guru sudah dilatih dan dikursuskan pemerintah supaya mampu dalam penggunaan ICT, persoalan inilah yang mengakibatkan guru ICT sudah tidak diperlukan lagi, sehingga benar kata pepatah “habis manis sepah dibuang”.
Pertanyaannya; pintar TIK itu standarnya apa?..., sudah mampukah siswa mengoperasikan komputer dengan baik dan benar, seperti mengedit makalah pada program MS Word, mengatur manajemen keuangan pada program Ms. Exel, mengedit video dan image, save file,  membuat presentasi dengan Ms. Powerpoint atau flash Mx, internetan, browsing, surfing, upload dan download, memiliki email dan cating pada jejaring social seperti facebook, twiter, bloger dll. Apakah guru yang mengajarnya sudah bisa semua?..., Kalau hanya untuk bermain game atau mendegarkan musik, jawabnya percuma!!.
Studi khasus yang dilihat setelah pelatihan TIK para guru, hasilnya nonsen. Guru hanya bisa mengetik dan menyusun presentasi sederhana dengan Ms. powerpoint, itupun tidak merata semua guru yang bisa membuat, hanya beberapa persen orang saja dan bisa dihitung dengan jari, artinya pemerintah telah gagal melatih guru dan hanya menghabiskan APBN dengan status pemubaziran.    
Ketika labor TIK tidak berfungsi optimal, siswa disuruh membawa laptop ke sekolah untuk browsing mencari tugas, bagaimana dengan siswa yang tidak punya laptop? Apakah mereka dipaksa harus punya laptop? dan membebani orang tua yang terpakasa membeli, pemikiran tersebut mengklaim pemaksaan ekonomi seolah penghasilan manusia merata. Hal ini mengingatkan kita pada era orde lama dengan bentuk rezim kapitalis; dalam persoalan ini berbentuk “kapitalisme pendidikan” artinya yang kaya makin pintar yang miskin makin bodoh, siswa yang tidak memiliki laptop meratap dalam pikiran dan hati sehingga tidak jarang mereka akan bercita-cita “kapan saya bisa punya laptop ?”, maka bukan tidak mungkin akan berdampak terjadinya kejahatan moral dan etika anak di sekolah seperti pencurian, iri hati, dengki, apatis, pesimistis, anarkis terhadap siswa yang punya laptop.
Ada benarnya di zaman sekarang apalagi di kota-kota besar masyarakat sudah mampu membeli laptop untuk anaknya sehingga mereka bisa menggunakan TIK, bagaimana dengan anak yang tinggal di desa?
Lain lagi dengan statement yang menyatakan bahwa anak-anak sudah bisa menggunakan TIK, tanpa harus diajarkan. Kalau parameternya sudah bisa, semua pelajaran bisa dipelajari sendiri dizaman serba digital ini. Jika logikanya dibalik, pelajaran bahasa Indonesia tidak perlu lagi diajarkan karena anak yang usia 2 (dua) tahun saja sudah bisa berbahasa Indonesia, begitupun pelajaran Sejarah semua orang tidak perlu lagi belajar sejarah karena cukup membaca saja di rumah. Matematika tamat SD saja siswa sudah bisa berhitung; menambah, membagi, mengurang, mengali. Intinya kurikulum 2013 belum siap 100% dalam implementasinya.
Menyikapi persoalan di atas terdapat beberapa pertanyaan signifikan yang harus dijawab pemerintah demi kemajuan bangsa Indonesia di era globalisasi yang kian panas dan menantang bagi masa depan siswa-siswi Indonesia sebagai pilar sekaligus pionir dalam mempertahankan harkat dan martabat Negara yang penuh persaingan di tingkat internasional Negara-negara di dunia. Jika di biarkan generasi muda kita lemah dengan kemampuan teknologi ICT bukan tidak mungkin bangsa ini mengalami kasus serupa “penyadapan presiden Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah Australia ditahun 2009 hingga tahun 2013 lalu” apakah kita bangsa seperti keledai yang mau jatuh kelobang yang sama?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar