oleh : Rio Dwi Seprianto
(Pengamat Pendidikan)
Dunia pendidikan kita dasawarsa ini sudah merambah jauh
menuju pendidikan modern. Pendidikan berupa informasi pengetahuan atau ilmu
sudah mudah didapat dan diterima dengan cepat di era teknologi digital dan
telekomunikasi saat ini (siberspace).
Persoalan ini tentunya tidak lepas dari peran ICT sebagai mediasi masyarakat
untuk menjembatani guna mengkonsumsi informasi dan komunikasi tersebut. Dengan
talenta yang dimiliki masyarakat di bidang ICT tentunya memudahkan mereka dalam
mengakses pengetahuan dengan cara search
engin atau browsing untuk
mendapatkan informasi yang mereka inginkan.
Kemampuan atau talenta tersebut tentunya diperoleh tidak semudah
membalikkan telapak tangan perlu adanya pendidikan dan pelatihan khusus di
sekolah agar siswa sebagai regernerasi masyarakat ke depan mampu mengoperasikan
teknologi berupa computer atau laptop dengan system yang baik dan benar.
Fenomena pendidikan ICT ini sudah diterapkan di sekolah oleh pemerintah dinas
pendidikan dalam kurikulum KTSP2006 yang notabene sudah tidak berlaku lagi
karena dampak kurikulum 2013.
Kehadiran kurikulum 2013 di tengeh-tengah konstelasi social
politik dan pendidikan saat ini tentunya
mengalami pro- kontra dalam
pemikiran masyarakat intelektual yang peka terhadap kritikan dan doktrin.
Alasan fundamental pemerintah menyelenggarakan kurikulum 2013 disebabkan
beberapa persoalan dianataranya; karena di era modern atau digitalisasi saat
ini anak usia 6 tahun saja “sudah mampu menggunakan komputer atau laptop”
sehingga pendidikan ICT sudah tidak perlu lagi diajarkan di kelas karena akan
diintegrasikan dengan mata pelajaran lainnya. Guru mengajarkan materi di kelas
dengan menggunakan fasilitas infokus
sehingga secara tidak langsung siswa bisa mengamati guru dalam mengoperasikan
ICT, guru bahasa Indonesia atau sejarah menyuruh siswa membuat makalah dan
puisi dengan komputer, lebih istimewanya lagi seluruh guru sudah dilatih dan
dikursuskan pemerintah supaya mampu dalam penggunaan ICT, persoalan inilah yang
mengakibatkan guru ICT sudah tidak diperlukan lagi, sehingga benar kata pepatah
“habis manis sepah dibuang”.
Pertanyaannya; pintar TIK itu standarnya apa?..., sudah
mampukah siswa mengoperasikan komputer dengan baik dan benar, seperti mengedit
makalah pada program MS Word, mengatur manajemen keuangan pada program Ms.
Exel, mengedit video dan image, save file, membuat presentasi dengan Ms. Powerpoint atau
flash Mx, internetan, browsing, surfing,
upload dan download, memiliki
email dan cating pada jejaring social seperti facebook, twiter, bloger dll.
Apakah guru yang mengajarnya sudah bisa semua?..., Kalau hanya untuk bermain game atau mendegarkan musik, jawabnya
percuma!!.
Studi khasus yang dilihat setelah pelatihan TIK para guru,
hasilnya nonsen. Guru hanya bisa mengetik dan menyusun presentasi sederhana dengan
Ms. powerpoint, itupun tidak merata semua guru yang bisa membuat, hanya
beberapa persen orang saja dan bisa dihitung dengan jari, artinya pemerintah
telah gagal melatih guru dan hanya menghabiskan APBN dengan status
pemubaziran.
Ketika labor TIK tidak berfungsi optimal, siswa disuruh
membawa laptop ke sekolah untuk browsing
mencari tugas, bagaimana dengan siswa yang tidak punya laptop? Apakah mereka
dipaksa harus punya laptop? dan membebani orang tua yang terpakasa membeli,
pemikiran tersebut mengklaim pemaksaan ekonomi seolah penghasilan manusia
merata. Hal ini mengingatkan kita pada era orde lama dengan bentuk rezim
kapitalis; dalam persoalan ini berbentuk “kapitalisme
pendidikan” artinya yang kaya makin pintar yang miskin makin bodoh, siswa
yang tidak memiliki laptop meratap dalam pikiran dan hati sehingga tidak jarang
mereka akan bercita-cita “kapan saya bisa punya laptop ?”, maka bukan tidak
mungkin akan berdampak terjadinya kejahatan moral dan etika anak di sekolah
seperti pencurian, iri hati, dengki, apatis, pesimistis, anarkis terhadap siswa
yang punya laptop.
Ada benarnya di zaman sekarang apalagi di kota-kota besar
masyarakat sudah mampu membeli laptop untuk anaknya sehingga mereka bisa
menggunakan TIK, bagaimana dengan anak yang tinggal di desa?
Lain lagi dengan statement
yang menyatakan bahwa anak-anak sudah bisa menggunakan TIK, tanpa harus
diajarkan. Kalau parameternya sudah bisa, semua pelajaran bisa dipelajari
sendiri dizaman serba digital ini. Jika logikanya dibalik, pelajaran bahasa
Indonesia tidak perlu lagi diajarkan karena anak yang usia 2 (dua) tahun saja
sudah bisa berbahasa Indonesia, begitupun pelajaran Sejarah semua orang tidak
perlu lagi belajar sejarah karena cukup membaca saja di rumah. Matematika tamat
SD saja siswa sudah bisa berhitung; menambah, membagi, mengurang, mengali.
Intinya kurikulum 2013 belum siap 100% dalam implementasinya.
Menyikapi persoalan di atas terdapat beberapa pertanyaan
signifikan yang harus dijawab pemerintah demi kemajuan bangsa Indonesia di era
globalisasi yang kian panas dan menantang bagi masa depan siswa-siswi Indonesia
sebagai pilar sekaligus pionir dalam mempertahankan harkat dan martabat Negara
yang penuh persaingan di tingkat internasional Negara-negara di dunia. Jika di
biarkan generasi muda kita lemah dengan kemampuan teknologi ICT bukan tidak
mungkin bangsa ini mengalami kasus serupa “penyadapan presiden Indonesia yang
dilakukan oleh pemerintah Australia ditahun 2009 hingga tahun 2013 lalu” apakah
kita bangsa seperti keledai yang mau jatuh kelobang yang sama?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar