oleh: Rio dwi S
Pengamat Seni
Pengamat Seni
Perayaan dan perhelatan akbar pekan
budaya Kampar yang diselenggarakan disetiap tahunnya tidak lepas dari fenomena
problematika penjurian yang keliru. Sistematika pola penjurian yang keliru dan
bersifat monoton tersebut memungkinkan lemahnya nilai-nilai budaya yang dianut
masyarakat karena tereksploitasi oleh idealisme minoritas individu yang
berkedok sebagai juri.
Tradisi merupakan kekayaan
adiluhung yang berakar dari nilai-nilai fanatisme kebudayaan nenek moyang masyarakat
tempatan. Seperti musik tradisional, pakaian adat, rumah adat, masakan tradisional,
tatacara dan etika dalam menata cara kehidupan sehari-hari yang menjadi tradisi
dan adat-istiadat bermasyarakat. Ketika nilai-nilai tradisi tersebut direndahkan dan dilecehkan besar
kemungkinan akan berakibat fatal terhadap sentimental (nilai rasa) masyarakat penganut
nilai-nilai tradisi tersebut, perasaan dan hati akan terganggu karena merasa nilai-nilai
tradisinya diremehkan oleh beberapa individu atau sekelompok masyarakat
lainnya.
Peristiwa mutakhir adalah perlombaan
pekan budaya kampar yang erat kaitannya dengan nilai-nilai tradisi masyarakat Kampar
tepatnya tanggal 16/19 Desember 2013. Secara defacto Lomba adalah ajang kompetisi yang bertujuan untuk mencari
terbaik dari beberapa peserta yang baik.
Secara harfiah musik tradisional
merupakan jenis aliran musik yang memiliki cirikhas dari tiap-tiap daerah yang
bersifat turun-temurun dan dicintai oleh masyarakatnya. Pola pikir ini tentunya
akan berdampak signifikan ketika satu dari beberapa musik tradisional yang
dimenangkan dewan juri mendapat juara dan penghargaan karena dianggap lebih bagus dan memiliki nilai-nilai eksotis dari tradisi masyarakt pesaingnya.
Pertanyaannya apakah sistematika penjurian yang digunakan sudah benar berdasarkan kaidah dan prinsip penilaian yang sesuai dengan tema yang dilombakan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar